180°
Dulu, aku badai yang tak terbendung,
berjalan tegak, menantang arus.
Matahari terbit di pundakku,
dan malam pun tunduk pada langkahku.
Aku membangun mimpi setinggi langit,
bukan hanya untukku, tapi untuknya.
Setiap detik adalah pijakan,
menuju esok yang kupahat dengan keyakinan.
Lalu roda berputar, bukan atas kehendakku.
Takdir menulis ulang cerita,
memisahkan jalanku dan jalannya,
dengan tinta yang tak bisa kuhapus.
Aku tidak runtuh, tapi berhenti sejenak.
Bukan kalah, hanya beradaptasi.
Dunia tetap berputar,
dan aku—mau tak mau—akan kembali melangkah.
Tidak semua perubahan buruk,
kadang 180 derajat hanya putaran,
bukan akhir, tapi awal dari poros yang baru.
Komentar
Posting Komentar